Yakin Mau Pindah?

 

Beberapa hari belakangan ini laman muka buku gue (baca: Facebook) dibanjiri isu keadilan sosial bagi Gubenur Jakarta. Angkat tangan angkat kaki, gue nggak mau mengeluarkan pendapat gue perihal isu tersebut. Selain gue bukan ahli dibidangnya, gue merasa tidak berhak berkomentar karena gue sedang tidak berada di tanah air.

Yang membuat gue tergelitik untuk menyinggung polemik ini adalah reaksi beberapa teman-teman dunia maya gue yang pun tidak pernah bertukar kata dengan gue. Gue amati beberapa dari mereka semangat betul ingin migrasi ke luar negeri.

Masbro.

Mbaksis.

Kalau sampean merasa tersinggung, post ini memang didedikasikan untuk kalian.

Kalian merasa diskriminasi etnis di Indonesia sudah tidak tertahankan? Bahwa keadilan di Indonesia sudah tidak tegak lagi? Kalian merasa hidup di negeri orang lebih baik?

Yakin?

Gue adalah kaum minoritas sejati. Di rayuan pulau kelapa, gue termasuk golongan minoritas. Bahkan nama bokap gue pun empat huruf kayak nama kecil sang Gubenur Jakarta. Gue pikir bekerja di negara tetangga menuntaskan isu keminoritasan gue.

Pergilah gue ke negeri orang. Mencari makan di pinggir pusat perbelanjaan. Yang gue dapatkan adalah perlakuan diskriminasi dari penjaga kantin karena gue nggak ngerti si mbah berucap apa.

Dikenal lah gue sebagai pisang. Maksud perumpamaan tersebut adalah warna kulit gue kuning seperti layaknya etnis gue, namun gue cuma bisa berbahasa inggris layaknya orang kulit putih. Persis seperti warna pisang. Rupanya mereka belum tahu eksistensi pisang ijo yang kulitnya hijau, dalamnya putih kekuningan, dan kuahnya pink disko!

Jadilah selama gue di negeri tetangga, gue paling takut beli makanan di hawker center (istilah untuk kumpulan pedagang kaki lima). Tidak cuma sekali dua kali gue dicibir dengan bahasa yang tidak gue ketahui atau disajikan makanan yang tidak sesuai dengan yang gue harapkan. Namun apa daya gue tidak bisa mengungkapkan isi hati gue dengan kata-kata yang si penjual pahami. Pernah sang penjaga kios mengangkat tangannya di depan muka gue dan berdecak seolah-olah gue disana mengemis minta makan gratis.

Ini gue bayar aja gue diperlakukan tidak adil! Tapi ya memang begitulah diskriminasi.

Ah masa sih, G?! Gue pernah liburan ke negara tetangga dan gue nggak ngalamin kayak gitu!

Pastinya! Karena kata kuncinya ada di liburan (dan ketidakmampuan gue berbahasa asing. Kalau situ bisa bahasa asing, ya beda ceritanya).

Kala liburan, seberapa sering masnya dan mbaknya beraktivitas di tempat yang jauh dari atraksi turis? Kala liburan, apakah masnya dan mbaknya memerhatikan isu politik negara tetangga, partai mana yang berkuasa, atau etnis apa yang mendominasi parlemen? Hal-hal macam itulah yang membedakan euforia liburan dan kenyataan.

Bagi yang berkeinginan migrasi ke negeri yang letaknya di barat sana, doa saya beserta Anda sekalian. Pasalnya, kalau isu diskriminasi tanah air saja dirasa terlalu berat bagi Anda, rasanya Anda akan sulit hidup damai di negeri sana.

Diskriminasi di negeri barat setingkat lebih tinggi dibanding diskriminasi negeri timur. Kalau di negeri timur gue bisa mencoba berbaur dengan manipulasi fitur wajah yang bisa dipaksakan, teknik kamuflase ini tidak berlaku di negeri barat.

Gue pernah dimaki-maki nenek-nenek yang tidak gue kenal di satu supermarket di negeri yang gue dukung setiap piala dunia digelar. Kisahnya waktu itu gue memotret kopi yang dijual di supermarket tersebut karena si kopi asalnya dari Sumatra. Si nenek kemudian marah-marah dalam bahasa yang tidak gue pahami hingga para pengunjung lainnya mengarahkan mata mereka ke gue yang berkeringat dingin takut dikira gue mencuri yang lain selain mencuri gambar. Setelah si nenek pergi, sang pengelola swalayan menghampiri gue meminta maaf. Menurut beliau, si nenek tidak senang gue mengambil gambar sang kopi karena ia menduga gue dari supermarket asia yang sedang memata-matai harga kompetitor. Pelik sekali pemikiran sang nenek.

Merasakan diskriminasi dari pelayan rumah makan pun kerap menjadi kudapan gratis buat gue. Awalnya gue pikir kebanyakan pelayan di negeri barat tidaklah ramah. Namun sadarlah gue betapa si pelayan sangat manis dengan tamu meja sebelah yang warna matanya seindah langit di angkasa.

Diskriminasi, saudara-saudara, adalah bahasa universal yang lebih universal dari bahasa inggris. Seseorang tidak perlu berucap kata yang dapat dimengerti untuk menunjukkan bahwa ia bertindak diskriminatif.

Diskriminasi bukan hanya ada di tanah air. Eksistensinya pun hadir di tanah-tanah lainnya.

Buat masbro dan mbaksis yang merasa Indonesia tidak adil, Anda yakin bahwa negeri orang akan memperlakukan Anda dengan lebih adil? Yakin diskriminasi tidak akan menghalangi Anda mencari nafkah disana? Yakin bahwa hidup Anda akan lebih damai di tanah orang yang harganya tanahnya berlipat ganda?

Gue pun kecewa dengan apa yang terjadi di tanah air. Tapi gue rasa migrasi ke tanah lain tidak akan mendekatkan gue dengan keadilan.

Tentu saja diskriminasi tidak melulu gue rasakan disetiap hela nafas gue di negara tetangga ataupun disetiap kaki gue melangkah di negeri orang. Pun sama dengan Indonesia. Tidak selalu kan masbro dan mbaksis diperlakukan tidak adil di negeri sendiri?

Rasanya gue bukan orang yang paling tepat untuk memberi nasihat untuk masbro dan mbaksis tetap tinggal di tanah air karena gue pun nggak pulang-pulang. Tapi gue tahu betul bahwa negeri orang tidak akan menjauhkan masbro dan mbaksis dari perlakuan diskriminatif.

 

 

XOXO,

Sang Pramugari

3 thoughts on “Yakin Mau Pindah?

  1. Setuju… Diskriminasi mah makanan Dari kecil…tinggal Di kampung dan satu2nya double minoritas… Kenyang boooo…
    Gak pernah takut sama diskriminasi, asal ada duit n pinter ngomong, posisi berbalik koq, dgn mudah bisa Kita yg diskriminasiin org…gw pernah coba lakukan tapi udahnya batin gak Damai…
    Kalo skrg banyak yg mikir mau pindah ke luar negeri, gw rasa bkn krn diskriminasi koq…udah gak separah Dulu diskriminasi disini… Banyak yg jd mikir serius mau pindah krn losing hope (at the moment) ke pemerintah krn koq org baik dihukum sih (pilgub dki), Dan sebagian lg krn merasa gak Aman dgn berkembangnya ormas radikal berbasis agama tanpa Ada real stern action dr pemerintah…

    Like

  2. Hi. Saya jg sempat tinggal di negara tetangga 6 tahun. Sekolah dan kerja di sana. Dan betul, setiap ke hawker ketika mereka meliat ras kita mrk akan bicara mandarin dengan kita yg saya tidak ngrtti juga. Maklum, ras seperti kita ini kalau di malaysia dan singapur kan semua bisa mandarin. Di negara kita saja yg ras begini ga bisa karena aturan dari presiden jaman dulu.

    Tp selama 6 tahun di sana saya tidak pernah merasa mrk diskriminasi. Aunty uncle di hawker memang kesannya galak apalg klo kita ga nherti bahasa mrk kesannya kaya marah. Pdhl sebrnarnya ga koq. Itu krn intonasi saja. Jd setiap mrk tny saya dalam mandarin, saya jawab dgn english yg akhirnya pun mrk jawab dengan simple english ala mrk. Dan semua berakhir dgn baik.

    Kalau soal foto di tempat usaha milik orang juga ga semua negara terima. Waktu ke korea pun pernah teman saya ygorang korea menemukan suatu barang yg saking lucunya dia lupa minta ijin pemilik utk foto. Lgsg dimaki2 juga. Jd ini bukan diskriminasi tapi soal culture tiap negara.

    Maaf kalau saya ada kata yg salah atau lancang. Tp hanya memberikan masukan tentang pengalaman saya. Salam hangat dariku.

    Like

  3. Hmmm, saya minoritas seperti anda. 6 tahun terakhir tinggal di Hong Kong dan tidak bisa bahasa kanton atau mandarin. Sekalipun tidak pernah mendapatkan perlakuan tidak mengenakan/diskriminatif.

    Ke negara barat? Passport saya 48 halaman biasanya cuma bertahan 2 tahun, lalu harus ganti buku. Bukan sombong, hanya untuk menggambarkan berapa sering saya melakukan perjalanan. Selama 6 tahun terakhir, 1 tahun bisa 8 kali ke Eropa,4-5 kali ke Amerika. Pernah juga selama 2015 harus tiap bulan Ke Jepang. Sama tuh, belum / tidak pernah mengalami diskriminasi seperti waktu saya masih tinggal di Indonesia.

    Like

.G