Di setiap organisasi pastinya akan selalu ada jajaran kekuasaan. Atasan-bawahan. Bos-karyawan. Manager-asisten manager. Yang nyuruh-nyuruh – yang disuruh-suruh. Yang marah-marah – yang dimarah-marahi. Dimana pun Anda bekerja, hierarki ini selalu ada.
Begitu pula di kabin.
Pasalnya, tangga kekuasaan di kabin ada yang bersifat pidana dan perdata. Yakali.
Maksudnya ada yang memang ditentukan karena jabatan dan ditentukan dari lamanya yang bersangkutan bekerja di perusahaan.
Hierarki para awak kabin dapat dilihat secara kasat mata dari perbedaan warna seragamnya. Di perusahaan negara tetangga, warna ini berurut dari biru, hijau, merah, dan ungu. Dengan biru menjadi warna yang menandakan dasar dari piramida kekuasaan.
Warna seragam tidak hanya membedakan jabatan, ia turut membedakan tugas dan kewajiban di dalam kabin. Terkadang perbedaan warna ini juga menentukan kelas mana para awak kabin diperbolehkan untuk bertugas, contohnya kelas ekonomi mayoritas dilayani si biru dan si hijau, sedangkan si merah dan si ungu biasanya melayani kelas-kelas premium.
…
Hierarki kekuasaan tidak berhenti pada kode visual yang dipancarkan dari warna seragam semata. Di dalam daftar awak kabin, di setiap jabatan, para pekerja ini diurutkan berdasarkan senioritas. Yang lebih lama bekerja namanya akan berada di posisi lebih atas, sedangkan nama awak kabin yang paling baru akan berada diurutan paling bawah.
Kalau warna seragam menentukan kewajiban, urutan daftar awak kabin menentukan hak para awak kabin. Hak ini digunakan untuk menentukan berbagai pilihan. Seperti pilihan posisi pekerjaan, pilihan makanan, pilihan jadwal istirahat, ataupun pilihan tempat tidur di pesawat.
Semakin senior seorang awak kabin, semakin besar kesempatan yang bersangkutan untuk memilih hal-hal yang sekiranya dipercaya dapat membuat sektor penerbangan tersebut lebih berkesan.
Bagi gue, hak pilih gue sangat krusial kala gue diperbolehkan memilih posisi kerja. Apalagi kalau gue terbang dengan atasan yang memberi nuansa mencekam. Memiliki hak pilih berarti memberi gue kesempatan untuk bekerja jauh dari yang bersangkutan.
Hak pilih ini tentunya memberi isu ketidakadilan di dalam kabin, terutama bagi mereka yang tenggelam di dasar kolam senioritas. Ketika gue masih baru dulu, pun pernah gue ditegur karena gue memilih tempat tidur yang tidak seharusnya.
“Eh lu tau kan, awak junior biasanya tidur di sana,” ujar senior gue sambil menunjuk ranjang yang letaknya persis di depan tangga akses masuk tempat istirahat awak kabin (crew bunk). Pasalnya lokasi tempat tidur tersebut cenderung lebih berisik dengan adanya para awak kabin yang berlalu-lalang naik-turun anak tangga untuk keluar-masuk tempat istirahat. Gue pun sadar bahwa dari tempat tidur gue itu dapat terdengar suara toilet disiram dan suara anak kecil yang menangis di kabin sana.
Sungguh pedih nasib seorang awak baru.
Tidak hanya tidak memiliki prioritas dalam perihal memilih, awak kabin baru memiliki tugas-tugas sekunder seperti menulis informasi di papan pengarahan, mengumpulkan uang rokok untuk diberikan kepada pengemudi bus yang mengantar para awak kabin ke tempat penginapan, hingga diharapkan untuk menelepon para senior untuk mengajak keluar makan semasa singgah.
Suka tidak suka, senioritas telah menjadi budaya perusahaan yang harus gue indahkan. Seiring waktu berjalan, gue mulai mendapati nama gue mulai mengapung menjauhi dasar kolam senioritas.
…
Kala masih menjadi yang paling baru di dalam kabin, gue selalu merasa takut nan segan dengan senior gue. Gue akan bekerja ekstra keras dan sebisa mungkin selalu berjalan-jalan mengelilingi kabin. Gue bahkan merasa bersalah apabila gue duduk diam di galley.
Bersoraklah gue kala gue menjajaki tangga senioritas. Yang tidak gue ketahui adalah gue memiliki beban baru: mengawasi dan memberi arahan kepada adik seperguruan gue.
Ketika gue menjadi senior, gue bekerja dua kali lipat lebih keras dari si anak bawang. Tidak berarti para awak kabin baru itu malas. Hanya saja banyak hal yang para awak kabin baru ini tidak pahami sehingga gue harus turun tangan membantu yang bersangkutan.
Adalah lazim apabila si anak bawang bekerja jauh lebih lambat dari kakak-kakak seperguruannya. Tak elak gue dan kolega gue memiliki pekerjaan tambahan kala harus membantu menyelesaikan pekerjaan di lorong seberang. Maklum, para awak kabin memang menganut paham gotong royong.
Menjadi senior tak elak menjadikan gue jembatan penerus budaya yang sudah lama dianut perusahaan. Seperti budaya senioritas itu sendiri. Tak elak gue kerap kali menemukan diri gue memberi wejangan pada adik-adik seperguruan gue akan tempat tidur mana yang harus dipilih, kapan giliran ia memilih makanan, bagaimana cara mengelola tip untuk pengemudi bus di penerbangan empat sektor, hingga waktu yang tepat untuk berada di lobi hotel keesokan harinya.
Terkadang gue merasa munafik karena ketidaksukaan gue akan senioritas tidak menghentikan gue menjadi penerus keberlangsungan budaya tersebut. Namun gue percaya budaya senioritas ini sedikit banyak turut membentuk maskapai negara tetangga menjadi maskapai mumpuni seperti adanya sekarang ini. Selama gue tidak berada di dasar kolam, biarlah gue turut memberi andil dalam melestarikan indahnya budaya senioritas.
XOXO,
Sang Pramugari