Cerita Gadis Sang Penerbang

Gelar sang pramugari rasanya tidak lagi pantas gue sandang. Pasalnya gue sudah tidak berkelana di dalam kabin.

Yang selama ini gagal gue ceritakan adalah fakta bahwa sudah hampir dua tahun gue mengundurkan diri dari pekerjaan gue di maskapai negara tetangga.

Kabar baiknya adalah gue tidak sepenuhnya meninggalkan kabin pesawat. Paska gue menanggalkan seragam pramugari gue –beserta segenap push up bra gue pastinya, gue memulai perjalanan baru sebagai seorang penerbang.

Harapannya, kala kalian duduk manis di kabin pesawat, gue akan menjadi oknum yang mengumandangkan pengumuman: “Ladies and gentlemen, this is your pilot from the flight deck speaking.”

 

*

 

Keputusan gue untuk mengejar mimpi tidak sembarang membalikkan tangan. Apalagi menjadi pilot bukan lah mimpi gue sedari kecil. Orang tua gue pun tak elak sangsi kala gue sosialisasi ambisi gue jadi penerbang. Gue sadari bahwa gue sendiri tidak pernah serius bermimpi. Apalagi memperjuangkan mimpi.

Apalah mimpi.

Sedari kecil gue selalu bingung setiap Kak Ria bertanya kalau gede mau jadi apa? Gue pun kerap menjawab berdasarkan popularitas pilihan profesi untuk anak SD: dokter. Seiring bertambahnya usia, gue meyakini diri bahwa gue berinteraksi dengan hewan lebih baik dari gue berinteraksi dengan sesama manusia. Cita-cita gue pun berevolusi menjadi dokter hewan.

Sayangnya tujuan hidup gue yang satu ini tidak mendapat restu nyokap gue. Pertempuran memilih jurusan kuliah dulu diakhiri dengan gue cap cip cup belalang kuncup yang kemudian membawa gue bergelut selama empat tahun di jurusan ilmu hayati di universitas gajah duduk. Yang tentu ilmunya tidak gue dalami kemudian. Dua tahun paska gue menyandang gelar sarjana, gue menemukan diri gue lenggak lenggok di kabin pesawat.

Tentunya ketika ide untuk menjadi seorang penerbang muncul, gue kebingungan. Apakah ide ini sekedar ego gue? Apakah ego gue ini terpercik rasa bosan akan pekerjaan gue? Apakah rasa bosan ini cuma timbul sementara? Apakah gue sekedar kurang bersyukur?

Gue meragukan apakah keinginan gue untuk menjadi awak kokpit sekedar penasaran belaka. Yang paling gue takutkan apabila penasaran gue ini ibarat adik kecil yang kerap merasa mainan kakaknya paling menarik. Gue takut kala gue mendapat mainan sang kakak, gue kemudian sadar bahwa gue lebih suka dengan mainan gue yang semula.

 

*

 

Kendati meragu, ketertarikan gue akan dunia kokpit sesungguhnya bermula semasa dulu gue menjalani pelatihan sebagai awak kabin.

Kala itu adalah satu kelas yang judulnya Safety and Emergency Procedure, SEP singkatnya. Di kelas ini para awak kabin dilatih untuk menangani situasi-situasi yang tidak diinginkan. Semisal ada oven kebakaran, atau muncul asap di toilet, atau *amit-amit* pesawat harus mendarat darurat, para awak kabin senantiasa siap nan siaga mengendalikan kepanikan-kepanikan yang tidak diharapkan.

Di salah satu materi SEP ini para awak kabin diajarkan bagaimana cara mengoperasikan emergency cockpit window. Adalah jendela di dalam kokpit yang bisa dibuka dari dalam. Apabila semua pintu pesawat tidak dapat dibuka, kabar baiknya awak kabin maupun penumpang yang beruntung dapat keluar lewat jendela di kokpit ini.

Sewaktu gue diperkenalkan dengan jendela bukan kepalang ini, gue diberi kesempatan untuk duduk di bangku penerbang sebelah kiri, yang mana adalah bangku sang kapten. Waktu itu pesawatnya Boeing 777-300ER dan bangkunya dilapisi bulu domba.

Segera gue amati segala control yoke, layar-layar kendali, beserta tombol-tombol mini di sekitar jangkauan mata gue. Seperti Professor X bisa membaca pikiran, dengan segera instructor gue mewanti-wanti untuk tidak memegang apapun yang ada di hadapan gue.

Gaess.. ini adalah reverse psychology.

Adalah gue jadi semakin gatel ingin pencet semua tombol di depan gue. Semakin gue dibilangin jangan, semakin gue penasaran. Lahir lah cita-cita baru gue untuk pencet semua tombol di dalam kokpit. Sungguh mulia.

Sesaat gue duduk di atas jok bulu domba itu, dengan kepala gue penuh tanda tanya akan guna tetombolan hitam di hadapan, gue bergumam dalam hati, “man I’m trained in the wrong cabin. I should’ve been here.”

Waktu itu gue menganggap gumaman gue sekedar guyonan batin.

Kenyataan selalu menyertai angan-angan gue. Pertama, gue terikat kontrak kerja selama dua tahun. Kalau gue mengundurkan diri sebelum dua tahun, gue harus bayar biaya pemutusan kontrak yang nominalnya sembilan digit rupiah. Kedua: adalah fakta dimana gue nggak punya uang, gue nggak punya tabungan, dan gue butuh pekerjaan.

Waktu itu tidak terpikir oleh gue bahwa gue bisa ataupun mampu menjadi seorang penerbang. Selain gue tidak merasa cukup pintar, gue pun tidak merasa cukup tampan. Namun sejak saat itu lah rasa penasaran akan kokpit dan segala tombol di dalamnya timbul dalam diri gue.

 

*

 

Jadilah gue selalu semangat ‘45 setiap gue punya kesempatan untuk hadir di dalam kokpit. Untungnya sebagai awak kabin gue punya hak istimewa untuk duduk di dalam kokpit, atau kerap dikenal dengan istilah jump seat. Tentunya hak ini disertai syarat dan ketentuan berlaku.

Pasalnya, untuk seorang awak kabin dapat duduk di dalam kokpit kala berpergian dengan tiket diskonan perusahaan, kabin ekonomi harus penuh tiada bersisa. Yang artinya awak kabin harus menunggu hingga para penumpang selesai check in, yakni 30 menit sebelum keberangkatan. Apabila ada senior yang turut mengantri, senior tersebut akan mendapat prioritas. Selain itu awak kabin bersangkutan pun harus mendapat ijin dari kapten yang bertugas. Selain pelik, bepergian dengan jump seat rawan gagal berangkat.

Upaya memenuhi syarat pertama, gue selalu cari penerbangan yang paling penuh setiap gue terbang untuk pulang atau jalan-jalan. Meski terkadang gue suka tersingkir ke penerbangan berikutnya, usaha gue pun membuahkan hasil; dua tahun gue bekerja dengan maskapai negara tetangga, sepuluh kali sekiranya gue dapat jump seat.

Selama gue keluar masuk kokpit ini lah gue kian memupuk rasa penasaran dan ketertarikan gue akan dunia penerbangan.

 

*

 

Mendekati akhir dari ikatan kerja gue, gue mulai merasa gerah. Bukan karena kabinnya panas, tapi karena gue merasa gue tidak memenuhi panggilan hidup gue.

Jangan salah sangka. Gue menikmati peran gue sebagai awak kabin. Gue suka berinteraksi dengan penumpang, gue suka jalan-jalan, terlebih lagi, gue suka gajinya. Namun kerap kali gue melamun di kabin kala gue mengawaki gerobak besi gue, bertanya-tanya apa yang tengah gue lakukan.

Yang namanya passion, calling, panggilan hidup, atau apalah disebutnya, gue yakini berbeda-beda untuk setiap individu. Dan kebetulan gue merasa menjadi awak kabin bukanlah panggilan gue.

Waktu itu bulan April tahun 2016. Adalah maskapai di negara tetangga sana yang mulai merekrut penerbang wanita. Meski di tanah air sendiri sudah banyak wanita bekerja di dalam kokpit, namun artikel ini yang sontak menoyor gue.

“Hey, if you have passion about planes, you can actually fly one!”

Sejak hari itu gue mulai serius memikirkan dan mendefinisikan mimpi gue sebagai penerbang. Gue mulai menghitung tabungan gue, menelusuri akhir dari ikatan kontrak kerja gue, mencari-cari sekolah penerbangan, sampai akhirnya gue mengakhiri karir sang pramugari enam bulan kemudian.

Bulan Januari 2017 gue mulai menghidupi hari-hari gue sebagai pelajar di sekolah penerbangan di Selandia Baru. Untuk pertama kalinya gue memulai kisah gue sebagai gadis sang penerbang.

Perjalanan gue kali ini diwarnai perjuangan yang berbeda. Meski kisah gue masih setengah jalan, tapi gue selalu lega kala gue melempar ke belakang. Ketika gue duduk di belakang kendali pesawat baling-baling gue, marilah gue menghidupi mimpi pencet-pencet segala tombol di hadapan gue.

 

 

XOXO,

Sang Pramugari  Sang Penerbang

3 thoughts on “Cerita Gadis Sang Penerbang

  1. Gue selalu penasaran sama awak kabin. Dan blog ini salah satunya yang gue tunggu-tunggu, walaupun sekarang udah jadi penerbang. Ajegile hahahaha. Keep update your blog yaa…. congratulations…..

    Like

Leave a reply to syei Cancel reply