Dua Tahun

Sepuluh Agustus adalah hari bersejarah bagi gue dan kisah keperawakkabinan gue. Ditanggal ini, tepat dua tahun yang lalu, adalah hari pertama gue mengerjakan penerbangan perdana gue sebagai awak kabin.

Merayakan dua tahunan gue dengan karir gue ini, gue menyempatkan diri untuk melempar kebelakang. Throwback maksudnya.

Kala gue masih hijau dulu, gue ingat betul perasaan gue yang campur aduk nggak karuan setiap kali gue harus berangkat kerja. Gue cemas banget setiap gue harus terbang. Ironisnya, letak kegelisahan gue bukan terhadap kemungkinan pesawat gue jatuh. Amit-amit ya Gusti!

#RAMBUT

Salah satu dari kegelisahan gue terletak pada rambut gue. Adalah gue cemas banget rambut yang gue konde tiga puluh menit lamanya itu terurai saat gue bekerja. Ya seperti iklan-iklan shampoo di layar kaca tatkala para gadis itu godek-godek diikuti dengan rambut legam mereka yang perlahan-lahan terlepas dari pengikatnya.

Sungguhpun diburu waktu, gue nggak berani bergerak terlalu lincah di kabin karena takut cuplikan iklan shampoo itu terjadi pada gue. Pernah ada masa menjelang pesawat mendarat, terjadi guncangan yang cukup parah. Kala penumpang gue mencari pegangan yang kokoh atau segera menggenggam tangan pasangan mereka, gue refleks memegang belakang kepala gue guna menjaga agar konde gue tidak cerai dari kepala gue.

#NAMPAN

Kegelisahan gue berikutnya terkait dengan benda ceper yang dikenal sebagai nampan. Nampan di kabin bermacam-macam bentuk, ukuran, dan fungsinya. Namun apapun nampannya, gelisah gue tetap hadir seperti Teh Botol Sosro®.

Betapa gentarnya gue ketika gue memberi nampan makanan ke hadapan penumpang gue. Gue pernah (dan bukan hanya sekali) menjatuhkan nampan di galley. Gue selalu parno hal yang sama terjadi di kabin. Apalagi kalau sampai terjadi dipangkuan penumpang!

Betapa ngerinya gue setiap kali gue harus memindahkan jus dari nampan penuh deretan gelas yang gue pegang dengan satu tangan, ke tangan penumpang, dengan tangan gue yang lain yang sedang tidak memegang nampan yang beratnya hampir lima kilogram itu. Gue ciut hati membayangkan kemungkinan gue menumpahkan nampan dengan segala isinya yang basah itu ke pangkuan penumpang gue.

Berdiri bulu kuduk gue kala gue nyariiiisssss saja menghajar wajah penumpang gue dengan ujung nampan besi gue. Untung dewi fortuna masih berpihak pada gue sehingga imaginasi terburuk gue diatas belum sempat terjadi!

#AWAKKABIN

Tak lain tak bukan, rekan kerja gue lah yang menentukan setiap penerbangan gue jatuh pada kategori akan kau lupakan atau untuk dikenang. Sesulit apapun penumpang gue dan segala masalahnya, selama para awak kabin yang terbang bersama gue menyenangkan, penerbangan gue akan tetap tergolong layak ingat.

Oleh sebab itu, adalah wajar bagi gue untuk merasa cemas setiap gue menelusuri daftar nama para awak kabin yang bekerja dengan gue di setiap penerbangan gue.

Kecemasan-kecemasan gue akan rambut, nampan, dan awak kabin memang seolah-olah tampak tidak krusial. Namun kegelisahan-kegelisahan gue di masa itu lah yang membuat langkah gue berat setiap gue harus beranjak menuju bandara.

Menjadi anak baru tidak mudah pastinya. Selain tidak terbiasa dengan kerjaan, pun gue tidak terbiasa dengan budaya di lingkungan yang sangat asing ini.

Di penerbangan pertama gue, tak elak kinerja gue berantakan pun lambat nian. Kala senior gue di lorong seberang sudah menyajikan makanan hingga setengah kabin, gue baru selesai membagikan ke tiga baris paling depan kabin.

Wajah gue memerah kala bos gue dengan sinisnya berucap, “by the time you serve the last tray, we’re landed already!”

Dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, “pesawat sudah keburu mendarat saat kamu bagikan nampan terakhir, G!”

Panas dingin badan gue! Bukannya kerja gue semakin cepat, yang ada barang-barang mulai berjatuhan dan kinerja gue semakin parah saja.

Dipenerbangan keempat, gue meneteskan air mata pertama gue di kabin. Kala itu bos yang berbeda menekankan betapa buruknya kinerja gue. Betapa gue tidak layak menjadi awak kabin. Dan betapa ia sungguh pun tidak mau terbang bersama gue untuk yang kedua kalinya.

Di bulan ketiga gue terbang, gue mendapat pengalaman pertama bekerja sebagai sebagai awak galley yang umumnya diserahkan ke tangan awak kabin pria. Bekerja di galley sangat berbeda dengan bekerja di kabin. Pasalnya, bekerja sebagai awak galley membutuhkan strategi yang matang. Lah apalah gue yang masih hijau daun waktu itu!

Ditengah gue dengan kinerja gue yang memang jauh dari sempurna itu, muncul lah bos kecil yang lain yang tidak bekerja dengan gue, yang seharusnya hadir untuk membantu namun kemudian memberikan gue instruksi yang berbeda dari atasan gue yang sesungguhnya, yang kemudian menjadikan gue buah bibir seantero pesawat bahwa gue adalah awak kabin yang tidak tahu sopan santun.

Pertempuran batin gue sungguh nyata, saudara-saudara!

Enam bulan pertama penerbangan gue adalah masa gue jatuh bangun yang gue syukuri bukan karena pernah berlalu, namun karena telah berlalu. Dan enam bulan itu dikenal sebagai masa percobaan. Setelah gue dicobai selama enam bulan, baru kemudian gue layak dikenal sebagai awak kabin yang mumpuni.

*hela napas lega*

Kalo loe nggak tahan kerja sebagai awak kabin dengan segala derita loe itu, kenapa nggak berhenti aja dari dulu, G?

Ya, berhenti bukan selalu jawaban bagi setiap masalah, toh? Bukankah kita diajarkan untuk tidak mudah menyerah dan terus berjuang dalam hidup? *apasih*

Di samping itu, gue pun terikat kontrak kerja dengan perusahaan gue. Bilamana gue berhenti sebelum dua tahun ikatan kontrak tersebut tuntas, gue harus membayar sejumlah uang yang nominalnya bisa menyejahterakan tiga kampung sekaligus.

Gue sadar banyak dari cerita gue yang menggambarkan kekelaman gue di dalam kabin. Namun ibarat dua sisi koin, tentu saja ada kisah-kisah yang kuasanya mematahkan kemalasan gue untuk berangkat kerja.

Tak terlupakan di penerbangan perdana gue, duduklah seorang wanita paruh baya baik hati yang memanggil atasan gue yang sinis itu dan mengingatkan atasan gue bahwa gue adalah awak kabin yang baik. Bahwa beliau senang dengan kinerja gue.

Penumpang seperti beliau mengingatkan gue bahwa di setiap gerak-gerik gue, ada mata yang memandang. Bahwa perbuatan baik gue tidak akan berlalu tanpa disadari. (Ya meskipun hal yang sama berlaku untuk perbuatan gue yang kurang baik juga…)

Di penerbangan lainnya, gue diajak berfoto dengan sepasang penumpang di akhir penerbangan. Pasalnya, mereka melewati kolega senior gue dan menunjuk gue, “gue mau fotonya sama dia!” Yes! Seperti ada rasa menang disitu! Apalagi kala itu senior gue memang tidak sabaran dan agaknya ketus terhadap gue.

Ada pun hari gue berbinar kala seorang penumpang memuji senyum gue yang ia sebut manis.

Atau ketika seorang penumpang lanjut usia yang berterima kasih dengan sangat karena gue membantu beliau memutarkan film di sistem hiburan pesawat yang terlalu modern bagi beliau.

Di lain waktu, ada seorang anak kecil yang memeluk gue di depan ban pengambilan bagasi. Atau balita yang melambai-lambaikan tangan mungilnya saat bertemu gue di antrian imigrasi.

Penumpang-penumpang macam ini lah yang membuat penerbangan gue menjadi indah dan membuat gue memutuskan tetap mengerjakan penerbangan gue yang berikutnya dan yang berikutnya lagi.

Disetiap kegelisahan gue akan ketidakpastian tiap penerbangan yang akan gue lakukan, gue bertekad untuk menjadi semakin baik lagi. Sebagian agar kolega gue tidak lagi meributkan kinerja gue. Sebagian besar lainnya gue lakukan untuk kepuasan batin gue dan penumpang gue.

Dua tahun berlalu sudah. Dua tahun yang mengandung terlalu banyak cerita untuk diceritakan. Dua tahun yang menjadikan gue awak kabin seperti adanya gue hari ini. 🙂

 

 

XOXO,

Sang Pramugari

Advertisement

One thought on “Dua Tahun

.G

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s