Di post “Standby” gue sempat berkoar-koar betapa pahitnya nasib gue sebagai awak cadangan. Tidak cukup sampai disitu, kini gue kembali mendedikasikan waktu gue untuk berbagi kisah gue dengan tanggung jawab gue yang satu itu.
Seiring dengan berjalannya waktu, gue pikir gue akan semakin mudah menerima kenyataan bahwa standby adalah bagian dari paket pekerjaan gue. Gue kira gue akan menjadi terbiasa dengan hadirnya standby di sela-sela jadwal terbang gue.
Pada kenyataannya, sehari sebelum standby gue masih saja resah nan gelisah menunggu panggilan dari kantor. Hari-hari gue menjelang standby gue habiskan dengan harapan gue kembang kempis menatapi telepon genggam gue.
Rasa takut itu tidak pernah sirna. Takut gue terpanggil ke penerbangan yang melelahkan lahir batin. Takut penerbangan gue selanjutnya terganggu. Takut gue dipanggil ke penerbangan paling pagi. Takut gue dipanggil di menit-menit terakhir dan gue harus bersiap-siap ekstra kilat hingga jemari gue gemetaran.
Namun diatas segala ketakutan itu, gue paling takut apabila gue nggak sadar ketika kantor telepon gue, apapun alasannya. Misalnya kantor telepon saat telepon genggam gue kehabisan baterai atau ketika gue lagi mandi atau sedang buang air besar atau pun, manusiawinya, selagi gue terlelap.
Apesnya gue, beberapa hari yang lalu ketakutan gue pun menjadi kenyataan.
***
Seharian sudah gue tak melepas telepon genggam gue sembari keluar-masuk situs kantor, mengakses jadwal terbang gue mencari tahu apakah gue terpanggil untuk mengerjakan penerbangan tertentu. Tertidur lah gue sekitar tiga puluh menit sebelum hari berganti dengan status gue belum terpanggil ketika terakhir gue cek jadwal terbang gue.
Pukul empat dini hari gue terbangun dari tidur gue yang tidak tenang. Hal pertama yang gue lakukan adalah merogoh telepon genggam gue disisi tempat tidur. Gue berhenti bernapas ketika gue menemukan 20 panggilan tak terjawab terpampang di halaman depan ponsel pintar gue.
Hal pertama yang gue lakukan adalah mengakses situs kantor untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Namun gue hanya mendapatkan jadwal standby gue hanya berganti ke standby baru dengan embel-embel “NC” dibawahnya, singkatan dari non-contactable atau tidak dapat dihubungi.
Terheran dengan apa yang sedang terjadi, akhirnya gue menyadari bahwa telepon genggam gue masih berada dalam kondisi diam. Diam sediam-diamnya tanpa ada getaran sedikit pun.
Pasrah dengan apa yang telah terjadi, gue mengganti mode dering telepon genggam gue dan gue kembali tidur dengan segenggam perasaan bersalah mengganjal di hati gue. Satu jam kemudian gue terbangun oleh panggilan masuk dari telepon genggam gue yang kini dapat berdering. Gue pikir kali ini gue terpanggil lagi untuk bekerja.
Ketika gue menjawab panggilan tersebut, ucapan wanita disisi lain percakapan itu menikam lubuk hati gue dengan kenyataan pahit bahwa gue baru saja melewatkan panggilan standby gue. Seperti Najwa Shihab, ia menyerang gue dengan serentetan pertanyaan yang hanya dapat gue balas dengan kata maaf.
Pertama kalinya mimpi buruk gue benar-benar menjadi kenyataan. Gue lemas seketika tak tahu harus berbuat apa. Perasaan gue campur aduk antara kesal mengapa gue lalai, kecewa mengapa ini terjadi pada gue, serta takut akan apa yang akan terjadi setelah ini.
Siang itu gue mendapat email dari kantor untuk memberi penjelasan akan apa yang terjadi. Menjunjung tinggi nilai kejujuran seperti yang diajarkan di kelas PPKN dahulu, gue menuangkan realita yang gue hadapi pagi tadi ke dalam surat elektronik tersebut. Besar harapan gue sang bapak/ibu yang terhormat akan menghargai ketulusan gue dalam menyampaikan maaf gue yang sebesar-besarnya itu.
Apa daya, kejujuran bukan lah segala-galanya di dunia ini. Kejujuran semata tidak dapat menutupi fakta bahwa gue telah lalai dalam menjalankan tugas gue semasa standby. Tak elak gue pun mendapat satu poin cela sebagai konsekuensi kelalaian gue.
Semakin banyak poin yang gue kumpulkan, gue tidak akan mendapatkan hadiah piring, gelas ataupun payung cantik. Tidak seperti bermain di Timezone saudara-saudara! Bertambahnya poin cela hingga delapan buah akan membuat citra g tercela hingga pada akhirnya gue akan dipulangkan ke rumah orang tua.
…
Begitulah adanya. Standby kali ini memberi pelajaran berharga dalam karir gue di belantara industri penerbangan ini. Terlintas di benak gue, standby-standby gue setelah ini akan gue jelang dengan kewaspadaan siaga satu bak menghadapi serangan teroris.
Standby yang selalu gue resahkan kini memberi gigitan keras, menyisakan bekas yang tidak dapat hilang dalam benak maupun catatan karir gue.
XOXO,
Sang Pramugari
Semangat ya mba :)…seneng baca tulisan anda…
LikeLike