Standby

Di perusahaan gue, jadwal kerja awak kabin keluar setiap awal bulan. Jadi kurang-lebih gue tahu satu bulan ke depan gue kemana saja, terbang sama siapa saja, libur hari apa saja, dan yang paling penting dari semua itu: dapat gaji berapa.

Setiap bulannya email inilah yang paling gue dan rekan-rekan sejawat gue nanti-nantikan. Kalau sampai lewat dari tanggal yang ditentukan, gue bisa buka situs web perusahaan gue setiap sepuluh menit untuk memeriksa apabila sang jadwal telah masuk. Sungguh gelisah hati ini.

Ada euforia tersendiri ketika alamat email perusahaan gue muncul di layar kaca ponsel gue. Rasanya detik jam gue berdetak lebih lama. Hidup gue bergerak lebih lambat. Di saat yang sama, intelegensi telepon pintar gue mendadak berkurang dan beroperasi tiga kali lipat lebih lamban untuk sekedar membuka email yang gue tunggu-tunggu itu.

Rasa lega ketika gue sukses membuka jadwal terbang gue itu setara dengan leganya gue bertemu toilet umum di KM 88 setelah gue menahan pipis sepanjang perjalanan Jakarta-Bandung di hari Jumat sore.

Jadwal terbang ini memang bersifat misterius sehingga setiap awak kabin penasaran dibuatnya. Sepenasaran para pria yang di-PHP-in wanita yang gemar tarik-ulur perasaan. Sungguh pun tidak ada yang gue lebih-lebihkan dari perumpamaan diatas!

Pernah diawal-awal gue mulai terbang, jadwal gue begitu indah. Gue dikirim ke negeri Paman Sam, ditambah beberapa kota di benua kanguru, disisipi satu negara di belahan Eropa sana. Perasaan gue melayang-layang bak tengah di-PDKT oleh jejaka rupawan yang getol bertukar pesan seharian.

Kemudian datang periode kelam ketika gue dijadwalkan delapan penerbangan bolak-balik dalam satu bulan, dimana gue hanya hinggap di bandara yang bersangkutan tanpa menginjakkan kaki keluar dari pesawat gue. Yang membuat penerbangan singkat ini menyedihkan sesungguhnya karena sektor macam ini tidak menghasilkan banyak uang.

Namun yang lebih buruk dari miskinnya gue dengan penerbangan bolak-balik gue adalah gue dianugrahi enam buah standbyStandby sendiri berarti gue menjadi awak kabin yang siaga menggantikan awak lain apabila yang bersangkutan berhalangan; baik karena sakit, malas, salah jadwal, maupun ketiduran.

Pun pernah ada pramugara yang tidak hadir di ruang pengarahan yang diadakan dua jam sebelum setiap keberangkatan. Ketika dihubungi, yang bersangkutan sedang pesiar ke luar negeri. Mungkin ia ingin merasakan indahnya menjadi pengangguran.

Gue sangat tidak suka standby. Entah karena gue tidak suka menjadi cadangan atau karena gue sudah terlalu sering digantung-gantung di aspek kehidupan gue yang lain. Gue merasa dijadikan pilihan kesekian dan diberi harapan palsu tidak perlu turut hadir dalam pekerjaan gue.

Namun apa daya. Standby adalah bagian dari tanggung jawab gue. Ibarat sudah takdir, gue pun digantung dan dijadikan pilihan baik dalam kehidupan asmara maupun dalam karir gue.

Seperti balonku, standby pun bermacam-macam rupanya. Ada yang seharian dari pukul 00.00 hingga pukul 23.59. Standby macam ini merupakan kasta ke-PHP-an yang paling menyakitkan kehadirannya. Membuat tidur tidak tenang, mengurangi nafsu makan, meningkatkan kegelisahan, hingga membuat ketergantungan akan telepon genggam. Rasanya persis menanti Whatsapp dari si PHP yang tidak kunjung datang.

Standby-standby lainnya memang tidak sekejam yang diatas. Ada yang dimulai dari pukul 08.00 hingga pukul 23.59. Ada pula yang bermula dari pukul 06.00 dan berakhir pada pukul 22.00 saja. Namun sebaik-baiknya harapan ini digantung, pada akhirnya yang di-PHP akan tersakiti juga.

Bukan hanya karena ketidakpastian yang dipermainkan oleh setiap standby. Sesungguhnya penggantung-penggantung keji ini memiliki kesempatan merusak kebahagiaan dan masa depan gue.

Semisal gue dijadwalkan standby sebelum gue terbang ke sektor favorit gue. Ternyata gue dipanggil ke India, sektor favorit gue untuk berolahraga di dalam pesawat seperti berlari kecil, berjalan cepat, hingga bermain petak jongkok. Alhasil gue nggak jadi terbang ke sektor semula dan malah terdampar di belahan dunia yang berbeda.

Yang lebih pahit lagi adalah kalau sektor yang terganggu adalah sektor yang menghasilkan uang dan gue malah mengerjakan sektor yang tunjangannya lebih sedikit. Akibatnya finansial gue bulan itu pun turut tersakiti. Apakah kehidupan asmara dan karir gue saja tidak cukup?!

Ketidakpastian lah yang membuat hati gue mencelos dikala mendapatkan enam buah standby tersebar di jadwal gue yang sempat indah itu. Dikala gue terpaku memandang layar kaca dengan perasaan campur aduk, hati gue bertanya kepada yang empunya kuasa atas jadwal roster gue. Gue ada salah apa sih sama kalian?

Melalui berbagai refleksi diri, gue mulai sadar. Jangan-jangan digantungnya gue oleh standby-standby ini akibat perbuatan gue di masa lampau. Jangan-jangan ini lah yang disebut karma!

Oleh sebab itu, untuk setiap pria yang mungkin harapannya pernah gue gantung baik secara sengaja maupun tidak sengaja, gue mohon maaf sebesar-besarnya. Sakit hati kalian sesungguhnya telah gue rasakan dan gue resapi setiap gue digantung oleh standby. Mohon ampun!

 

 

XOXO,

Sang Pramugari

5 thoughts on “Standby

  1. Pingback: Standby (2) – ceritakabin

.G